Saya tidak menempuh cara homeschooling, tapi menempatkan diri sebagai pemeran utama pendidikan anak. Dalam hal pelajaran akademik, saya terlibat langsung mengajari anak-anak saya berbagai pelajaran yang mereka terima di sekolah. Saya bantu anak-anak untuk memahami dengan lebih baik, ketika mereka masih kesulitan memahami materi yang diajarkan di sekolah. Ada bagian yang saya luruskan, ketika konsep yang diajarkan guru-guru menurut saya keliru. Ada pula bagian yang saya tambahkan, untuk pengayaan terhadap materi yang sudah diajarkan.
Itulah yang harus dilakukan oleh orangtua. Bila sekolah sudah cukup memenuhi kebutuhan anak kita, maka kita tinggal memperkayanya. Tapi ketika sekolah kita anggap tidak memadai, maka kita harus melengkapinya. Bila diperlukan, kita harus mengambil peran utama dalam pengajaran materi-materi akademik itu.
Pendidikan tentu bukan hanya soal materi akademik. Materi pelajaran itu sesungguhnya hanya bagian yang sangat kecil dari seluruh komponen pendidikan anak-anak kita. Yang lebih penting dari itu adalah pembentukan karakter, seperti gigih dan tangguh, tertib, bersih, hormat dan menghargai orang lain, dan sebagainya. Sebagian dari kebutuhan itu tentu saja bisa kita harapkan dipenuhi oleh sekolah. Tapi sekali lagi, peran terbesar dalam pembentukannya harus ada pada orangtua.
Porsi terbesar dalam pendidikan anak sebenarnya tidak melalui proses pengajaran, tapi melalui interaksi. Kita berinteraksi dengan anak setiap hari, dari situ kita menanamkan nilai-nilai. Interaksi itu dimulai dari sapaan, sentuhan, dan berbagai aktivitas yang kita lakukan bersama. Pembangunan karakter tadi tidak bisa hanya melalui nasihat verbal saja. Karena itu, interaksi adalah pusat dalam pendidikan anak kita. Nah, ketika anak-anak justru kita jauhkan dari kita, bukankah itu menghilangkan komponen terbesar tadi?
Banyak orangtua berdalih bahwa mereka tidak mampu melakukan itu semua. Kalau tidak mampu, artinya Anda merasa tidak mampu mendidik anak bukan? Lalu, kenapa punya anak? Dalam banyak kasus, para orangtua itu bukan tidak mampu, tapi tidak tahu atau tidak sadar. Mereka mengira pendidikan identik dengan sekolah. Yang sudah tahu, tidak punya cukup keinginan untuk melaksanakannya. Yang tidak mampu, tidak punya keinginan belajar, agar menjadi mampu.