Bumilampung.com – Sebagian besar rakyat Indonesia yang hidup di daerah pedesaan bekerja sebagai petani. Jadi pantaslah jika bidang pertanian menjadi jantungnya pembangunan di setiap kehidupan masyarakat di pedesaan, salah satunya adalah Liwa, Kabupaten Lampung Barat.
Sekitar 2.500 Kepala Keluarga menggantungkan hidupnya dari budidaya pertanian khususnya tanaman hortikultura. Dalam rangka pemasaran hasil-hasil pertanian hortikultura tersebut, di Liwa, Kabupaten Lampung Barat terdapat peranan pedagang yang berkembang secara tradisional untuk memasarkan yang disebut dengan tengkulak.
Pada dasarnya tengkulak sangat dibutuhkan oleh para petani di sana.
Alasan petani hortikultura menggunakan jasa tengkulak dalam menjual hasil panen adalah petani dipermudah dalam menjual hasil panen karena tengkulak lebih mampu menemukan target pasar yang lebih luas dibandingkan dengan menjual hasil panennya sendiri. Sifat komoditas hortikultura yang mudah mengalami kerusakan (perishable) juga menjadi landasan petani disana untuk segera menjual hasil panennya kepada tengkulak.
Inilah yang menyebabkan petani hortikultura menggantungkan usahanya kepada tengkulak.
Ada yang berbeda proses penjualan kepada tengkulak yang biasa dilakukan di didaerah lain dengan yang terjadi di Liwa.
Wismo Sutekat, petani hortikultura Liwa menyampaikan bahwa mereka mempunyai bargaining power terhadap tengkulak di daerahnya. Biasanya, petani takluk kepada tengkulak karena khawatir hasil panen tidak ada yang membeli dan akan menyebabkan kerugian bagi mereka.
Namun, tidak untuk Wismo dan teman-teman petani lainnya. Mereka mampu mengontrol dan memilih tengkulak yang tepat dalam menjaga kontinuitas transaksi jual beli untuk hasil panen mereka. Petani mampu mengendalikan harga hasil panen diatas harga pasar yang berlaku atau minimal sama dengan harga yang berlaku di pasaran saat itu sehingga petani terjamin untuk tidak mengalami kerugian.
Tentunya, tidak serta merta tengkulak mampu dikendalikan oleh petani. Wismo dan teman-teman melakukan strategi dalam menghadapi tengkulak terutama yang melakukan kecurangan kepada petani.
Strategi tersebut diantaranya : (1) Memilih tengkulak yang berlokasi tidak jauh dari petani, baik tempat tinggal, usahanya dan lain-lain. Tujuannya adalah kemudahan dalam mengakses pertanggungjawaban ketika terjadi kecurangan oleh tengkulak tersebut. (2) Tidak tergoda dengan stimulan yang diberikan tengkulak dari luar daerah yang menawarkan harga tinggi karena biasanya tengkulak dengan taktik seperti ini nantinya akan mengiming-imingi petani untuk melunasi pembayaran di akhir transaksi.
Namun tidak sedikit petani yang dibohongi oleh tengkulak yang seperti itu yang pada akhirnya pembayaran tidak dilakukan. (3) Memasang mindset bahwa petani hortikultura baiknya berfokus menjadi seorang petani yang meningkatkan kualitas dan produktivitas budidayanya karena ketika belum mampu memecah fokus untuk turut pula menjadi seorang pemasar (marketer) maka keadaan pengembangan budidaya akan menjadi lebih buruk.
Wismo dan teman-teman sudah membuktikan bahwa strategi tersebut mampu mengundang tengkulak yang serius dan bersungguh-sungguh untuk bermitra dengan mereka.
Bahkan, Wismo mampu menentukan harga jual hasil panen karena dia hanya menjual dengan tengkulak yang dipercaya. Terbatasnya jumlah tengkulak ini menjadi dorongan bagi tengkulak lain untuk membeli hasil panen dari Wismo dan teman-teman. “Hal inilah yang menjadikan nilai jual komoditas yang ditawarkan lebih tinggi,” katanya.
Selain itu, mutu komoditas yang selalu terjamin menjadi andalan dalam menjajakan hasil panennya. Petani-petani ini tidak pernah khawatir bahwa komoditas hasil panennya tidak akan terjual, karena tengkulak akan selalu menunggu komoditas hortikultura yang mereka hasilkan. Mereka meyakini bahwa keberlanjutan transaksi jual beli menjadi lebih penting dibandingkan keuntungan yang sifatnya sementara (MM, 2019). (rls/asf)