Bandar Lampung- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan penilaian kepada Bandar Lampung sebagai kota terkotor untuk kategori kota besar, bersama Manado, Sulawesi Utara (Sulut).
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, kota-kota tersebut mendapat nilai paling rendah pada saat penilaian program Adipura periode 2017-2018.
Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Lampung, Donny Irawan, memprotes penilaian soal kebersihan terhadap ibukota Provinsi Lampung itu oleh KLHK.
“Alasannya, kita sering berpergian ke kota-kota yang ada di Indonesia, Bandar Lampung sudah sangat baik dari sisi kebersihan. Tim penilai dari KLHK menyebutkan Bandar Lampung sebagai kota terkotor, rasanya ini tidak tepat. Kita sebagai warga juga merasa malu disebut demikian. Ini menjadi image yang tidak baik untuk Bandar Lampung sebagai pusat kota,” ujarnya, Kamis, 17 Januari 2019.
Bahkan, lanjut Donny, hal ini dapat berpengaruh terhadap kunjungan pariwisata dan ekonomi akan terganggu. Menurunkan tingkat kunjungan wisata ke Bandar Lampung, yang berdampak pada penurunan ekonomi masyarakat secara tidak langsung.
“Itu dampak dari sebutan kota terkotor. Orang yang mendapat info tersebut akan malas berkunjung ke Bandar Lampung. Tingkat hunian hotel juga tentu bisa berdampak. Jadi KLHK jangan main-main dalam hal ini. Saya bicara untuk Lampung, bukan untuk wali kota,” tegas Donny.
“Acuan Tim KLHK cara menilai kebersihan harus jelas dan transparan, agar tidak menciderai perasaan orang yang tinggal di Bandar Lampung, Tim KLHK diharapkan membuat kajian yang obyektif. Bukan saya membela wali kota. Tapi ini soal harga diri atau piil orang Lampung,” tambah dia.
Sebelumnya, Wali Kota Bandar Lampung Herman HN tidak terima Kota Bandar Lampung mendapat predikat kota besar terkotor dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurutnya, Bandar Lampung yang berjuluk Kota ‘Tapis Berseri’ ini bersih dan bisa bersaing dengan kota-kota besar lainnya soal kebersihan.
Bahkan, Herman HN menuding penilaian dari Kementerian Lingkungan Hidup tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.
“Makanya saya tidak mau dinilai-nilai (Piala) Adipura itu, karena ada permainan duit, permainan apa-apa, semua permainan,” ujar wali kota Bandar Lampung dua periode itu kepada awak media, Selasa, 15 Januari 2019.
“Kotor apanya. Kalau melihat dari Bakung (TPA sampah) ya tidak bisa dibilang terkotor dong. Itu penghinaan bagi masyarakat Bandar Lampung. Bego saja yang menilainya,” tambah Herman HN.
Menurut dia, Kota Bandar Lampung sudah sangat bersih dibandingkan dengan kota-kota yang memperoleh Piala Adipura.
“Lihat Kota Bandar Lampung, bersih begini. Yang dapat Adipura coba cek. Ayo bersaing dengan Kota Bandar Lampung. Rakyat yang merasakan. apakah kita terburuk dari kota-kota yang dapat Adipura itu. Saya berani bersaing dengan yang dapat Adipura itu. Di (level) nasional, siapa yang dapat Adipura itu, saya berani bersaing,” ujar Herman.
Bahkan, lanjut dia, hal ini bisa menciderai rakyat Bandar Lampung, yang menurut Herman penilaian Piala Adipura itu tidak adil.
“Orang bego yang bilang Bandar Lampung ini jelek dari sisi kebersihan. Tidak tahu kalau dunia ini sudah bego semua. Ini menciderai rakyat Bandar Lampung. Kota kotor kok dapat Adipura, kota bersih dinilai terkotor,” tukas Herman HN.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyerahkan penghargaan Adipura pada Senin, 14 Januari 2019. Penghargaan ini merupakan program nasional yang dilaksanakan setiap tahun.
Liwa, Lampung Barat dan Blambangan Umpu, Way Kanan meraih Piala Adipura 2017-2018 untuk Kategori Kota Kecil.
Pemberian Piala Adipura bertujuan untuk mendorong kepemimpinan pemerintah kabupaten/kota dan membangun pasrtisipasi aktfi masyarakat dan dunia usaha dalama mewujudkan kota yang berkelanjutan.
Salah satu kriteria penilaian dalam penghargaan Adipura adalah implementasi atas amanat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yaitu upaya dan hasil dalam memenuhi target nasional pengelolaan sampah, dengan persentase pengurangan sampah sebesar 30 persen dan penanganan sampah sebesar 70 persen pada 2025.
Selain itu, adanya upaya upaya untuk mendorong penerapan sistem pengelolaan sampah secara terpadu mulai dari hulu sampai dengan hilir di setiap kabupaten/kota.
Pada awal 2019 ini, Pemerintah melalui KLHK memberikan anugerah Adipura periode 2017-2018 kepada 146 penerima penghargaan.
Dari jumlah tersebut terbagi menjadi lima kategori, yakni satu penghargaan Adipura Kencana, 119 Adipura, 10 Sertifikat Adipura, 5 Plakat Adipura, serta Penghargaan Kinerja Pengurangan Sampah kepada 11 kabupaten/kota.
Kementerian LHK juga memberikan penghargaan Green Leadership Award bertajuk Anugerah Nirwasita Tantra untuk periode 2018.
Penghargaan ini diberikan kepada 3 Gubernur, dan 6 Wali Kota, serta 6 Bupati. Selain pemimpin daerah, penghargaan ini juga diberikan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yakni 3 DPRD Provinsi dan 10 DPRD Kabupaten/Kota. (rls/een)